SIPARDALAN NEWS: Sejarah Lomang



SIPARDALAN NEWS: Sejarah Lomang

Horas dongans
Masih dengan suasana hari raya Natal dan Tahun Baru, masih berhubungan dengan kuliner. Makanan khas Tahun Baru bagi orang batak saat menerima tamu adalah Lomang. Lomang adalah makanan khas juga buat orang batak dan sudah menjadi ikon saat menjelang Lebaran, Natal dan Tahun Baru bagi beragama Islam dan Kristen. Lomang ini juga sudah dikenal seluruh masyarakat di Indonesia, hanya pemberian nama saja yang berbeda. Lemang juga merupakan makanan yang terbuat dari ketan yang dimasukan kedalam bambu dan dipanggang diatas arang yang sudah dibakar.


Sejarahnya
Deskripsi metode lemang ini dengan sendirinya dicatat pertamakali oleh Ida Pfeiffer (1852) dan telah mendahului waktu pencatatan yang dilakukan oleh orang Inggris yang melakukan ekspedisi di semenanjung Malaysia antara tahun 1864 dan 1867. Deskripsi metode lemang yang dibuat Ida Pfeiffer juga terkesan lebih eksplisit, gamblang dan mudah dibandingkan dengan metode lemang yang dilakukan oleh masyarakat modern yang sekarang. Ida Pfeiffer tampaknya cukup cerdas untuk merekod kearifan lokal di Ankola ini sebagai bagian dari budaya memasak nasi dunia. Mungkin Ida berpikir, kalau tidak dicatat sekarang kapan lagi.Publish or perish.
***
Ida Pfeiffer adalah seorang gadis kelahiran Austria yang memiliki keinginan yang kuat untuk melancong dan membuat perjalanan ke tempat-tempat yang eksotik dan memiliki tantangan sendiri secara sendirian (lone ranger). Ida Pfeiffer memulai perjalanannya di tanah Melayu dimulai dari Serawak, kemudian memasuki wilayah Dayak dan seterusnya ke Pontianak. Setelah dari Kalimantan, Ida Pfeiffer menuju ke Djawa lalu Ida Pfeiffer melanjutkan perjalanan utama ke Tanah Batak di Sumatra.

Ida Pfeiffer
Pada tanggal 5 Agustus, 1852, Ida Pfeiffer tiba di Padang Sidempoean (onderfadeeling Ankola). Dari tempat terakhir dimana ada orang Eropa di Padang Sidempoean, Ida Pfeiffer dipandu oleh Dja Pangkat (yang juga mantan pemandu terbaik Friedrich Franz Wilhelm Junghuhn, 1840-1845 dalam ekspedisi geologi di Zuid Tapanoeli / Tapanuli bagian selatan) berangkat menuju Silindoeng melewati wilayah Sipirok. Dari Boeloemario mereka melakukan perjalanan melewati hutan rimba sepanjang DAS Batang Toroe, bukit yang terjal dan jurang yang dalam dengan jalan kaki. Di tengah jalan antara Sipirok dan Silindoeng ini mereka istirahat jelang malam, Ida Pfeiffer melihat langsung bagaimana Dja Pangkat dan kawan-kawan menyiapkan nasi untuk makan malam dan bekal untuk melanjutkan perjalanan esok harinya. Sebelum ke Silindoeng di Boeloemario, Ida Pfeiffer diterima dengan baik dan dijamu dengan tari pedang yang disebutnya mirip dengan tarian di daerah Dayak. Tarian ini diiringi musik gondang dan diselingi pantomime. Singkat kisah, setelah Ida Pfeiffer berhasil melongok danau Toba (orang Eropa pertama yang melihat danau Toba) langsung lekas pulang (karena sakit), Ida Pfeiffer tiba kembali di Padang Sidempoean tanggal 25 Agustus 1852.

Sepulang dari Tanah Batak, Ida Pfeiffer menyempatkan diri melakukan perjalanan keliling di ranah Minangkabau, seperti Paijakoemboeh dan sempat bergabung dengan tim Jerman yang melakukan ekspedisi botani mendaki Gunung Merapi. Pada tanggal 7 Oktobe 1852, Ida Pfeiffer kembali ke Padang dan lalu berlayar kembali ke Batavia. Ida Pfeiffer secara total telah melakukan perjalanan 700 mil di atas kuda plus 150 mil dengan jalan kaki di Sumatra (ranah Minangkabaoe dan Tanah Batak). Di pulau Djawa, Ida Pfeiffer masih terus melanjutkan perjalanan ke Semarang, Borobudur, Djokjakarta dan Soerakarta. Lalu perjalan dilanjutkan ke beberapa daerah lainnya diantaranya beberapa pelosok di Maluku.
***
Kisah perjalanan Ida Pfeiffer ke Tanah Batak yang ditulisnya sendiri pada tanggal 12 Oktober 1852 yang kemudian diterbitkan pertama kali oleh koran Algemeen Handelsbladedisi 09-05-1853 di Batavia menunjukkan bahwa Ida Pfeiffer sudah berada di Batavia. Ini artinya bahwa sebelum menulis kisah ini Ida Pfeiffer sudah melakukan ekspedisi di Tanah Batak dan ranah Minangkabaoe. Di dalam kisah ini Ida Pfeiffer menulis secara rinci bagamana metode memasak beras menjadi nasi ini sebagaimana dikatakannya sendiri: ‘saya melihat mereka mempersiapkan beras dalam cara yang sama sekali baru bagi saya’.
***
Setelah tulisan Ida Pfeiffer di koran pada tahun 1852. literatur Belanda, baik buku maupun artikel di surat kabar tidak pernah mengkodifikasi adanya metode memasak ala bamboo ini di Nederlandsche Indie. Setelah sekian lama baru muncul nama penganan yang disebut lemang di koran Sumatra-courant: nieuws- en advertentieblad, 05-04-1873. Selanjutnya di dalam koran Sumatra-courant : nieuws- en advertentieblad, 18-05-1880 dimuat sebuah surat oleh seorang Belanda dari Padang Pandjang yang menceritakan di daerah Kotta Lawas dimana para penduduk diminta mengumpulkan bahan makanan yang diantaranya lemang, pisang, beras, dan lain-lain yang lalu diangkut dengan seisi pedati penuh. Informasi lainnya ditemukan suatu frase di dalam koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië, 18-12-1900 yang menceritakan bahwa ketika seorang pejabat Belanda di Bengcoelen mengunjungi pesta pernikahan: ‘kami dijamu di suatu ruangan, di atas meja disajikan kue-kue, termasuk lemang yang ditaruh di dalam bamboo yang telah dibakar. Makanan ini tampaknya merupakan kepala kue (mungkin maksudnya, special)’.
***
Alat masak bambu, asli Sumatra (Marsden, 1783)
Tanpa bermaksud untuk mengatakan yang pertama, metode memasak beras menjadi nasi dengan cara bamboo, faktanya sudah sejak lama dikenal di Tanah Batak (1852). Kemudian baru dicatat sebagai nasi yang ditaruh di dalam sebuah bamboo di semenanjung Malaysia (1864). Lalu kemudian ditemukan suatu penganan yang disebut lemang di ranah Minangkabaoe (1873) serta di Bengkoelen (1900). 

Untuk sekadar dimaklumi, bahwa urutan waktu ini tentu saja belum bisa dijadikan patokan bahwa metode memasak beras menjadi nasi--yang disebut lemang, lamang atau lomang--yang mana satu istilah etnik lebih dahulu dibanding yang lainnya. Oleh karana itu, metode memasak bamboo ini setidaknya di masa-masa awal peradaban modern sudah ditemukan di Tanah Batak, ranah Minangkabaoe dan semenanjung Malaysia. Untuk sekadar menambahkan, bahwa di dalam Almanak Belanda tahun 1814 yang di dalamnya berisi kamus Nederduitsch en Maleidsch tidak ditemukan kata lemang, lamang atau lomang. Padahal di dalam buku seorang Inggris bernama William Marsden berjudul The History of Sumatra (1783) sudah mengidentifikasi adanya  cara mengolah jenis beras yang disiapkan dengan menggunakan bambu di Sumatra--namun sayang alat masak asli Sumatra ini tidak dijelaskan dimana di pulau itu ditemukan adanya. 

Poestaha dan muziek Batak, 1870 (kitlv)
Di dalam buku Marsden.ini, beras yang digunakan untuk membuat lemang ini tetap ditulisnya dengan nama 'bras sipulut'. Awalan si juga masih berlaku hingga sekarang di Tanah Batak untuk jenis-jenis beras lokal, selain dahanon (beras) Sipulut (ketan) adalah dahanon Sipulo, Silanting, Sipahattan (merah) dan sebagainya. Marsden sendiri tidak hanya mengklaim metode lemang adalah asli orang-orang Sumatra, tetapi juga di dalam bukunya edisi terakhir (1811), Marsden mengklaim etnik paling orisinil di Sumatra adalah etnik Batak. Marsden sempat bingung mengapa etnik Batak bukan bangsa pelaut meski memiliki pelabuhan terbaik di dunia (Teluk Tapanuli) namun dia menjadi paham karena kekayaan alam Tanah Batak dalam perdagangan komoditi ekspor dunia sejak jaman Mesir kuno tak tertandingi seperti logam emas, gading, kapur barus, kayu damar (benzoin), kayu sekko (kemenyan), kayu cassia (kulit manis), kayu meranti (kamper) dan sebagainya. Para pedaganglah yang datang ke Tanah Batak untuk berniaga di pelabuhan Teluk Tapanuli. Sementara penduduk Batak sendiri cukup waktu untuk mengembangkan pertaniannya di daerah yang subur untuk mengembangkan padi sawah dan padi ladang sebagai komoditi domestik. 
Masih menurut Marsden, dengan mata uang asing yang disebut 'keppeng' (sekarang 'hepeng') di tangan dan pangan yang cukup di lumbung, penduduk Tanah Batak berhasil mengembangkan sistem sosial yang paling orisinil yang teratur (basis dalihan na tolu), sistem pertahanan dan persenjataan sendiri (sudah mampu menciptakan mesiu dari bahan dasar belerang), seni sendiri (tarian, musik dan arsitektur), ilmu pengetahuan (budidaya pertanian, peternakan dan manufaktur kain tenun), sastra sendiri dan tulisan sendiri. Yang tidak diduga oleh Marsden adalah lebih dari separuh penduduk Tanah Batak (tahun 1700-an) mampu membaca dan menulis dengan aksara Batak yang melampaui kemampuan baca tulis latin semua bangsa-bangsa di Eropa. Untuk keperluan menulis ini penduduk menggunakan kulit pohon khusus dan menuliskannya di bagian yang halus. Tinta yang digunakan adalah jelaga dengan bahan dasar damar yang dicampur dengan air tebu. Damar bukan saja komoditi ekspor dunia tetapi juga bahan yang memicu pengembangan peradaban lokal.Teori 'orisinilitas' ini juga mendapat dukungan dari T.J. Willer, seorang pejabat Belanda yang bertugas di Mandheling en Ankola (1841-1845). Dalam buku yang ditulis Willer (1846) berjudul 'Verzameling der Battahsche wetten en instellingen in Mandheling en Pertibie' dijelaskan nasi sebagai makanan pokok tidak ada kaitannya dengan bahasa Melayu: padi='eme'; beras='dahanon'; nasi='indahan'. Menurut Willer, budidaya beras (dahanon) di Tanah Batak sudah sejak doeloe ada, seusia dengan bahasa mereka untuk mengatakan 'dahanon' sebagai beras. Istilah 'dahanon sipulut' (beras ketan) boleh jadi merupakan istilah yang sudah ada sejak jaman kuno (doeloe).  
***
Suatu yang bersifat kearifan lokal haruslah menjadi heritage. Beras yang disiapkan untuk menghasilkan nasi dengan metode bamboo dalam hal ini haruslah digolongkan sebagai makanan dunia (world food). Setiap orang, setiap etnik dan setiap Negara diizinkan untuk mempopulerkan metode bamboo ini. Akan tetapi keasliannya tetaplah harus dijaga. Yang dimaksud lemang asli tradisi Nusantara (baca: Asia Tenggara) adalah lemang sebagaimana telah dideskripsikan oleh Ida Pfeiffer, gadis pelancong yang melakukan perjalanan wisata hingga ke Tanah Batak tahun 1852. Mengikuti dokumentasi Ida Pfeiffer ini tentu saja sangat berfaedah untuk kepentingan dunia, kepentingan Negara dan kepentingan etnik. Kita anak cucu wajib mengembangkannya agar produk beras dengan metode bamboo ini menjadi bagian dari kuliner internasional. Ida Pfeiffer adalah jaminannya. 
Untuk para generasi muda from Zuid Tapanoeli, memperhatikan jenis bambu yang sesuai sangat penting. Jenis bambu yang sesuai itu hanya terbatas di beberapa tempat (Sumatra dan Jawa) dan masih bersifat liar. Dan sampai saat ini Lomang menjadi terkenal di seluruh Indonesia dan menjadi makanan favorit orang batak saat merayakan Hari Raya. Dan yang sedang menyiapkan Lomang untuk Tahun baru selamat menikmati.Mauliate

Horas..

Komentar