Sipardalan News: Batak Tapi Dale!!



Sipardalan News: Batak Tapi Dale!!

Horas dongan,
Sebelumnya selamat menikmati hari baru di bulan november ya, bulan ini adalah bulan ke dua terakhir dalam kalender. Tapi saya tidak membahas tentang kalender dan bulan november. Di hari kedua pada bulan november ini, masih seputar berkunjung didaerah Toba dan berkenalan kepada setiap orang Toba, saya selalu paham setiap apa yang ditanyakan. Apalagi kalau sudah menanyakan marga dan martarombo pada natua-tua di kampung ini. Saya pun kalau ditanya banyak tau tentang Batak, bukan bermaksud menyombongkan diri, hanya memang intinya sebagai orang Batak yang bukan besar di daerah Toba setidaknya harus paham. Iya ga dongans?? kan agak malu, kalau tiap ditanya, marga dari mana kau? nomor berapa kau? nah, apalagi kalau ditanya, jadi manggil apa kau sama ku?? kan malu kalau kita tidak tau sama sekali. Dan kalau sampe tidak tau sama sekali, langsung dicap lah kita sebagai Dale.



Nah, Dongans pernah dengar istilah Dale??

Kalau belum pernah dengar, saya akan bercerita sedikit dari beberapa sumber yang ada. 

Yang Sering disebut  Batak Dalle : 
1. Keturunan Batak apa saja (Toba, Simalungun, Angkola, Mandailing, Karo dan Pakpak) yang sudah tidak bisa berbahasa Batak karena tinggal di daerah rantau yang tidak didominasi oleh suku Batak.

     2. Sebutan Dalle juga umum diberikan kepada warga Melayu keturunan Batak yang banyak bermukim di wilayah sepanjang pesisir pantai Timur Sumatera Utara. Mereka ini adalah keturunan para perantau Halak Batak yang menetap di daerah tanah Melayu tersebut berabad yang silam, kemudian mengadopsi budaya Melayu dan agama Islam dalam kehidupan kesehariannya. Mereka membuang marga Bataknya dan benar-benar terabsorbsi menjadi Suku Melayu selama beberapa generasi. Mereka ini adalah keturunan warga beberapa Kesultanan Melayu di Pesisir Timur yang pada awal pendiriannya juga didirikan oleh orang Batak Asli ex para Panglima Paderi yang diangkat oleh Belanda menjadi Sultan-Sultan di daerah pesisir pantai Timur.

   Selain itu juga di akhir abad ke-19 banyak perantau Batak dari Toba dan sebagian juga dari Simalungun yang didatangkan Belanda untuk menjadi tenaga kerja perkebunan sebelum masuknya kuli kontrak dari Jawa di awal abad ke-20. Mereka kemudian menetap dan mengubah identitas dirinya sebagai orang Melayu dan memeluk agama Islam dalam segenap aspek kehidupannya. Kesadaran akan identitas diri dan asal muasal keluarga baru mulai booming di sekitar tahun 1950-sekarang ini. Saat itu mulai terbuka informasi dan catatan sejarah yang masih bisa ditelusuri walaupun masih secara umum bahwa sebagian diantara orang Melayu tersebut ternyata adalah murni keturunan Batak. Umumnya keturunan Batak Toba, Simalungun, dan juga Karo. Sejak itu tumbuhlah kesadaran mereka untuk kembali menggunakan marganya. Hal tersebut terus berlangsung hingga kini secara bertahap sebagai suatu fenomena sensasional yang membanggakan. Sayang sekali kembalinya mereka menggunakan Marga Batak keluarga besar nenek moyangnya tersebut, kerap tidak didukung oleh pengetahuan akan silisisah Tarombo yang pasti. Hal ini disebabkan sudah terputus selama beberapa generasi dan menjadi orang Melayu. Disamping itu juga tidak didukung dengan pengetahuan Bahasa Batak karena memang mereka tinggal di wilayah yang murni berbahasa daerah Melayu dan bahasa Nasional Indonesia. Begitu juga dengan pengetahuan adat dan budaya Batak yang memang telah hilang dari keluarga besar mereka selama beberapa generasi sebelumnya.

    3. Batak Dalle juga sering digunakan sebagai istilah untuk menyebut orang-orang asli bersuku Batak bermarga Batak Toba dan Angkola serta sebagian Pakpak yang bermukin di pesisir pantai Barat Sumatera Utara yang dalam kesehariannya menggunakan bahasa Melayu Pesisir Barat (Mirip bahasa Minang). Mereka ini sudah ratusan tahun menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa ibunya dan umumnya juga beragama Islam.   Mereka ini adalah keturunan masyarakat Kesultanan Barus Hilir (Dinasti Pardosi) dan Barus Hulu (Dinasti Pasaribu) yang pernah berjaya di sana selama berabad-abad silam. Daerah mereka di sekitar pesisir pantai Barat ini adalah merupakan bekas pelabuhan dagang selama ribuan tahun. Hal inilah yang telah menjadikan mereka mengenal pergaulan dengan dunia luar sehingga mengadopsi bahasa Melayu yang pada saat itu merupakan bahasa pengantar perdagangan sebagai bahasa ibunya.

4. Selain Batak Dalle di atas sering juga terdengar istilah Karo Melayu. Mereka ini adalah keturunan Karo yang juga beradaptasi dan berakulturasi menjadi orang Melayu. Umumnya di Medan, Deli Serdang, Serdang Bedagai, sebagian Asahan, dan daerah Langkat. Mereka adalah warga Karo Jahe (Karo bawah) yang wilayahnya dikuasai oleh Kesultanan Melayu Deli dan Kesultanan Langkat. Oleh kesultanan2 Melayu tersebut mereka tidak dijadikan sebagai warga taklukan, akan tetapi diakui sebagai warga kerajaan tersebut. Selama berabad mereka menjadi orang Melayu dengan membuang merga(marga) Karonya, memeluk agama Islam dan berbahasa Melayu dalam kesehariannya. Kesultanan Melayu Langkat, Kesultanan Melayu Deli, dan Kerajaan Haru di Medan sesungguhnya menurut catatan sejarah juga didirikan oleh orang2 Batak Karo yang juga mengadopsi budaya Melayu dalam segenap aspek kehidupannya. Oleh sebab itu kesatuan antara Pihak Kesultanan dengan warga Karo Melayu seolah tidak terpisahkan, karena memang mereka umumnya berasal dari Suku Karo dengan sedikit campuran Melayu dari pesisir pantai. Dalam perkembangan selanjutnya juga banyak berdatangan orang Karo Gunung (karo Atas) dari Tanah Karo ke wilayah Langkat,Medan dan Deli Serdang. Mereka pun akhirnya juga mengubah identitas diri mereka menjadi orang Melayu. Mereka inilah yang sekarang dikenal dengan istilah Karo Melayu. Seperti para Batak Dalle di Sumatera Timur, para Karo Melayu ini pun akhirnya juga mulai banyak yang kembali menyadari asal usul keluarganya. Pada tahun 1050-sekarang, mulai banyak mereka yg kembali menggunakan Merga (marga) Karonya. Akan tetapi budaya, bahasa daerah Karo, dan adat istiadat Karo mereka yang sudah hilang selama beberapa generasi memang sukar untuk dikembalikan. Sehingga mereka tetap diklasifikasikan sebagai warga Karo Melayu.

    Dalam urusan adat umumnya mereka masih menggunakan adat Batak dan kesatuan marganya. Akan tetapi budaya mereka cenderung sudah bercampur karena lebih dominan budaya pesisir dan bahasa Melayu Pesisir yang lebih dekat dengan Bahasa Minangkabau. Istilah Batak Dalle jarang disebutkan untuk orang-orang Karo Melayu ini, karena lebih umum disebut Karo Melayu, dan mereka pun cenderung lebih suka mengklasifikasikan dirinya sebagai orang Melayu.
   Catatan :
    Sebutan Dalle tidak pernah ditujukan untuk warga dan keturunan Batak Gayo, Batak Alas, Batak Kluet dan Batak Singkil yang wilayahnya termasuk Prov. Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Juga tidak umum disebutkan kepada orang-orang Batak Rao yang wilayahnya masuk Prov. Sumatera Barat.  Begitu juga dengan Batak di Rokan yang wilayahnya sekarang masuk dalam beberapa kecamatan dalam Kabupaten Rokan Hulu Prov. Riau. Serta tidak pernah disebutkan untuk keturunan Batak (umumnya Batak Mandailing) yang bermukim di Malaysia sejak akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20. Tidak pernah digunakan untuk warga Suku Lubu di Jambi yang bahasa daerahnya banyak memiliki kemiripan dengan dialek Mandailing. Tidak diperuntukkan utk keturunan Nias, karena etnis Nias memang bukan termasuk Suku Batak dan memiliki etnis, Hukum Adat, bahasa daerah dan Budaya sendiri yang tidak memiliki akar sejarah yang sama dengan Suku Batak secara umum.
      sumber: http://tentangbatak.blogspot.co.id/2012/01/istilah-batak-dalle.html


Sekarang sudah mengerti kan dongan pengertian Dale? Intinya Batak Dale saat ini adalah sebutan orang-orang batak yang tidak mengerti akan falsafah batak, sistem kekerabatan, tarombo batak dan bahasa batak, istilah ini ditujukan kepada semua keturunan orang batak yang tidak lagi mengerti akan ciri hidup sebagai orang batak dan tidak mau belajar tentang semua yang disebutin tadi serta malah tidak suka mengakui diri batak.



Kalau sudah dianggap Batak Dale berarti tidak dianggap bangga menjadi orang batak, karena tidak mau belajar dan peduli. buat dongans jangan seperti itu ya. Minimal belajar bahasa batak dan cobalah berbicara kepada dongans lainnya atau natua-tua. Memang ketika kita mulai banyak yang tau tentang Batak tidak langsung kita mendapat uang 1 milyar dari Raja Batak. Tapi, Ingat, jangan sekali-kali bahasa batak sama orang jawa atau papua, saya jamin mereka pasti akan kebingungan. Ketahuilah kalau bukan kita siapa lagi yang akan memelihara budaya leluhur kita.


Bisa bayangkan kalau banyak dari dongans yang tidak peduli. Contoh kecilnya saja bahasa batak, apa jadinya di 10 tahun lagi? Saya rasa 50 tahun kemudian bahasa batak akan punah dan yang ada hanya logat medan.  Atau juga sangking kita sudah mulai Dale, bisa bisa yang harusnya kita panggil Amang tua kita malah kita panggil amang boru atau aturan kita manggil Amang uda malah kita panggil 'dek' hanya karena umurnya dia lebih muda dari kita. Kalau sudah begini kan lucu juga dongans.


Ayo  dongans, jangan sampai tradisi kita luntur dan mulai punah, jangan juga sampai kita dibilang, Batak tapi Dale.
Horas, Mauliate...

MS

Komentar

  1. Jadi pantun nya..
    Bukan kapak sembarang kapak
    kapak di buat membelah kayu
    bukan Batak sembarang Batak
    Batak masuk melayu.

    BalasHapus
  2. hahaa. kok bisa masuk melayu?? serumpun bisa iya. hehe

    BalasHapus

Posting Komentar