Dimana Anak-Anak Sisingamangaraja XII?
Setelah Patuan Bosar Ompu Pulo Batu (marga Sinambela) alias Sisingamangaraja XII terbunuh oleh pasukan pemburu Marsose pimpinan Kapten Hans Christoffel, keluarganya jadi tahanan rumah. Sebelumnya, para istri dan anak-anaknya harus menjalani hari-hari melelahkan dalam kehidupan gerilya yang membuat mereka harus berpindah-pindah karena kejaran tentara Hindia Belanda.
Baca juga:
Sipardalan News: Tulila, Alat Musik Tradisional Batak Yang Jarang Dimainkan Tapi Sangat Spritual
Sipardalan News: Angkat Sejarah Marga Tambun, Ribuan Keturunan Raja Tambun Se Dunia Hadiri Kegiatan Pesta Rakyat Di Sibisa
“Kelima putra Sisingamangaraja XII yang masih hidup dikenai tahanan rumah di Pea Raja, dekat Tarutung, tempat mereka dibaptis oleh misionaris,” tulis Daniel Perret dalam Kolonialisme dan Etnisitas Batak dan Melayu di Sumatra Timur Laut (2010, hlm. 240). Keluarga mendiang Sisingamangaraja XII, yang semula menganut agama lokal Parmalim, perlahan diperkenalkan dengan ajaran Kristen yang belakangan menjadi agama besar di Sumatra Utara. Menurut Walter Bonar Sijabat dalam Ahu Si Singamangaraja (1982, hlm. 328) mereka dibaptis pada 1910, setelah tiga tahun ditahan.
Koran Belanda Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (22/07/1930) menyebut nama anak-anak Sisingamangaraja XII berdasarkan nama baptis: Raja Boental alias Karel Boental Sinambela, Raja Barita alias Hendrik Barita Sinambela, Raja Sabidan alias Willem Sabidan Sinambela dan Raja Pangkilim alias David Pangkilim Sinambela.
Anak-anak Sisingamangaraja XII, yang belum dewasa ketika masih bergerilya, akhirnya berkenalan dengan pendidikan Barat. “Tiga yang tertua, Raja Sabidan, Pangkilim dan Raja Buntal dikirim ke Jawa tahun 1916. Beberapa tahun kemudian, dua adik mereka, Raja Barita dan Mangarandang, pun ikut bergabung,” tulis Perret. Selain disekolahkan, anak-anak Sisingamangaraja tentu saja terus diawasi oleh pemerintah kolonial.
Mereka diawasi berdasarkan Besluit (keputusan pemerintah) tanggal 25 Maret 1908. Mereka diharuskan kost di rumah keluarga Belanda. Selain mudah diawasi, mereka belajar hidup ala Barat. Raja Boental dan Raja Sabidan, menurut Sijabat, mulai bersekolah ketika usia mereka lebih dari 13 tahun. Keduanya mulai sekolah dari kelas satu.
“Raja Pangarandang diasingkan ke Kudus, Jawa Tengah, meninggal di sini pada tahun 1926, sementara Raja Pangkilim yang masih mengikuti pendidikan guru di Sipoholon diasingkan ke Bogor, akhirnya meninggal di kota ini tahun 1946,” tulis Poernama Rea Sinambela dalam Ayahku Si Singamangaraja XII, pahalawan nasional (1992, hlm. 72). Raja Boental sempat belajar di Rechtschool (sekolah hukum) Jakarta ketika sekolah itu belum berstatus perguruan tinggi.
Anak laki-laki Sisingamangaraja XII, yang merasakan bangku sekolah kolonial, kemudian jadi orang yang cukup terpelajar di abad ke-20. Raja Boental, anak Sisingamangaraja XII dari Boru Sagala, seperti disebut Bataviaasch nieuwsblad (11/03/1918), pernah mewakili Rechtschool bertanding catur dengan klub catur Weltevreden. Raja Boental dikalahkan Milborn. Secara keseluruhan, Rechtschool kalah.
Setelah lulus ia sempat bekerja di Departemen Kehakiman kolonial. Awalnya sebagai panitera. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (10/01/1929) menyebut, awal 1929 ia masih bekerja di pengadilan negeri Jakarta dan sedang diarahkan belajar hukum adat Batak. Koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië (10/09/1930) menyebutkan anak tertua Sisingamangaraja XII menjadi pegawai di pengadilan negeri Jatinegara, Jakarta Timur. Ia sedang belajar di sekolah tinggi hukum dan akan ditempatkan di departemen administrasi.
“Semasa Raja Boental masih hidup dan Jepang masuk rupanya masih sempat timbul prakarsa untuk “merajakan”Raja Boental sebagai pengganti Sisingamangaradja XII,” tulis Sitor Situmorang dalam Sitor Situmorang, seorang sastrawan 45, penyair Danau Toba (1981, hlm. 90-96). Semasa hidupnya, Raja Boental disegani pemerintah kolonial dan cukup berpengaruh di kalangan orang-orang Batak. Ia menikahi perempuan dari marga Sembiring dan tutup usia tak lama setelah Jepang menduduki Sumatra Utara dan meninggalkan istrinya yang sedang hamil tua. Ia meninggal di Pematangsiantar pada 1943 karena penyakit paru-paru.
Raja Sabidan, anak Sisingamangaraja dengan Boru Nadaek, sekolah bersama Raja Boental. “Raja Sabidan rupanya dapat menyelesaikan pendidikannya, namun langsung bekerja di Algemene Volkscredit Bank,” tulis Poernama Rea Sinambela. Bank tersebut di kemudian hari menjadi Bank Rakyat Indonesia. Belakangan, Raja Sabidan membeli tanah di Soposurung, Balige. Seperti dimuat dalam berita kematian di Het Nieuwsblad voor Sumatra (17/11/1951), Raja Sabidan pernah menjadi Inspektur Bank Rakyat Indonesia Sumatra Utara. Ia tutup usia pada 11 november 1951
Raja Barita, anak Sisingamangaraja XII dari Boru Sagala, jadi orang pemerintahan. Perret mencatat ia menjadi asisten demang pada 1939. Ia sempat belajar hukum di Jawa dan pernah bekerja di kantor residen Sibolga dan di Nias sebagai kontrolir. Ibunya, Boru Sagala—yang sempat dikenai tahanan rumah di Tarutung—menjodohkannya dengan putri kepala negeri Porsea, Raja Manurung.
Ketika isu Sisingamangaradja XII akan diangkat jadi Pahlawan Nasional, orang bertanya-tanya soal rupa Sisingamangaradja XII. Pelukis bernama Augustin Sibarani pun ditugasi untuk melukisnya. Untuk itu ia harus meriset dan membuat rekonstruksi wajah Sisingamangaraja. Ia mencari potret Raja Sabidan dan Raja Boental yang dianggap mirip dengan Sisingamangaraja XII. Tak lupa salah satu kawan seperjuangan Sisingamangaraja XII yang masih hidup, Raja Ompu Babiat Situmorang yang tinggal di Dairi, pun didatangi untuk dimintai keterangan. Ada pula bekas kurir Sisingamangaraja XII yang ditanyai soal pakaian sang raja. Tak jauh dari kantor gubernur Sumatra Utara, tinggallah Raja Barita yang dijadikan model oleh Sibarani. Di rumah Raja Barita, Sibarani akhirnya bertemu Putuan Sori, anak dari Raja Boental, yang masih duduk di bangku SMA dengan usia sektiar 18 tahun.
“Putra Raja Boental inilah, yaitu Putuan Sori, yang saya minta untuk menjadi model saya, tetapi saya tekankan bahwa bukan wajahnya yang saya akan lukis,” kata Sibarani, dalam buku Perjuangan Pahlawan Nasinal Sisingamangaraja (1980, hlm. 274).
Ketika lukisan hampir selesai, Sibarani didatangi salah satu putri Sisingamangaraja yang kala itu usianya sudah 70-an. Ia lebih tua dari Lopian, tapi lebih banyak di rumah ketimbang bergerilya seperti Lopian—yang gugur oleh tentara Belanda. Sibarani diberi masukan soal bulu dada, jenggot, dan lain sebagainya. Setelah diperbaiki Sibarani, lukisan itu berikan ke negara. Ketika lukisan dilihat oleh putri Sisingamangaraja XII itu, si putri Sisingamangaraja XII itu berteriak, “Among!” (ayah). Ia dikabarkan jatuh pingsan.
susmber: tirto.id
Komentar
Posting Komentar