Horja Bius: Merawat Tradisi, Memikat Wisatawan
Danau Toba tak hanya dianugerahi alam yang menawan, selain indah dipandang dari sudut mana pun, sejarah peradaban bagaimana Batak lahir hingga ragam rutinitas adat yang dijalani sehari-hari menjadi daya tarik tersendiri. Itulah mengapa amat beruntungnya bangsa ini dianugerahi danau terbesar di Asia Tenggara.
Baca juga:
Sipardalan News: Angkat Sejarah Marga Tambun, Ribuan Keturunan Raja Tambun Se Dunia Hadiri Kegiatan Pesta Rakyat Di Sibisa
Pagi itu, Samosir tampak tak biasa, jalanan terlihat sepi, umbul-umbul merah, putih dan hitam tampak ramai terpajang di setiap sudut jalan. Para pedagang di Desa Tomok kompak membalutkan ulos di badan, pertanda akan ada ritual adat yang hendak dilakukan.
Horja bius, ritual berusia ratusan tahun ini merupakan elemen dasar dalam sistem kelembagaan masyarakat Toba. Sebuah tradisi Ruas Parmalim, menyelesaikan masalah dengan mengedepankan musyawarah. Raja bersama tetua adat berkumpul mengatur tatanan pemerintahan dan spiritual pada satu kampung di zaman dahulu.
Baca juga:
Sipardalan News: Tulila, Alat Musik Tradisional Batak Yang Jarang Dimainkan Tapi Sangat Spritual
Horja bius terdiri dari beberapa ritual, mulai ulaon hahomion, tortor tunggal panaluan, tortor parsiarabu, marjoting, pajongjong borotan, makharikkiri horbo, ditutup mangalahat horbo. Ulaon hahomion berisi ziarah ke tambak (makam) Dolok Ompu Raja Sidabutar dan mangalopas tu mual natio. Ini ritual penghormatan kepada roh-roh leluhur untuk memohon berkat perlindungan dan kelancaran dalam melaksanakan tahapan-tahapan upacara selanjutnya.
Di Desa Tomok, horja bius menjadi salah satu event tahunan, bagian dari Horas Samosir Festival. Dikemas dalam bentuk teater kolosal, modifikasi yang tidak melunturkan kesakralan. Pada masanya, horja bius Tomok adalah persembahan kepada leluhur Ompu Raja Sidabutar yang telah mendirikan Kampung Tomok.
Suku Batak Toba memiliki pemahaman bahwa roh leluhur masih ada di sekitar mereka, meyakini roh akan mengawasi dan tetap menyertai keturunannya. Kepercayaan ini terpatri hingga saat ini bagi mereka yang memegang teguh budaya habatakon.
Ziarah kubur penyajian sesajen seekor kambing yang dimasak dan dipotong sesuai potongan sendi tulang, juga ayam putih dan merah jantan, sagu-sagu, itak nani hopingan, itak gurgur, assimun, anggir pangurason dan aek naso ke mida mataniari. Semua persembahan dijunjung oleh perempuan Batak yang mengenakan ulos.
Gondang sabangunan mengiringi arakan menuju makam. Aroma kemenyan yang telah dibakar menyambut, mengundang kehadiran sosok dan kekuatan gaib untuk hadir dan menyatu dalam ritual. Sajen diletakkan di atas makam, sembari mangalopas tu mual nation atau melepaskan ayam putih ke Danau Toba.
Diiringi lantunan gondang siboru saniang naga laut, arak-arakan bergerak menuju bibir danau. Tujuh perempuan masuk ke air sembari membawa seserahan. Usai membaca doa dan mantra, serentak mereka mengibaskan air jeruk yang sedari tadi dibawa di atas kepala ke permukaan danau. Wisatawan mengikuti dari tepi danau, menyaksikan dari dekat.
Berikutnya, marhata ma raja, patortor tunggal panaluan dan pangurason i tomok bolon. Suasana seketika berubah, alunan gondang beraura mistis, penonton serasa dibawa ke masa Batak kuno. Para kerabat dan keturunan raja turut manortor, tanpa alas kaki dan pakaian masa kini, semua harus
mengenakan ulos sebagai tanda hormat pada lelulur. Sebelum menari, mereka mengunyah sirih.
“Tunggal panaluan adalah jembatan antara manusia dengan mulajadi nabolon (penguasa alam semesta). Mula Jadi Nabolon meminta masyarakat Tomok bersatu, jangan terpecah belah agar kehidupan berjalan baik. Pencarian diberkati, diberi kesehatan, panen melimpah dan hal baik lainnya,” kata Hartoba Tohris Sidabutar.
Memegang tongkat tunggal panaluan, dukun adat mengelilingi kampung, melakukan ritual tolak bala. Tiga dukun berbaju merah, hitam dan putih, khas warna Suku Batak menari mengikuti irama gondang. Membentuk formasi tapak raja sulaiman, bagi orang Batak, ini simbol pagar untuk menolong masyarakat di kampung dari ancaman jahat, baik nyata maupun tidak nyata.
Mangalahat Horbo
Usai ragam ritual di hari pertama, masuklah ke acara puncak yakni mangalahat horbo. Seekor kerbau akan ditombak untuk persembahan. Ini bukan kerbau sembarangan, harus yang hidup liar lalu ditangkap dari hutan. Enam pria dewasa dan seorang perempuan yang mengenakan ulos mengarak menuju tiang tambat. Dari belakang, raja bius menyaksikan.
Sebelum diikat, kerbau mesti mengelilingi kayu borotan sebanyak tujuh kali, baru ditambatkan di batang kayu pohon borotan. Pohon yang menjadi borotan disimbolkan sebagai pohon surga dengan daunnya yang diibaratkan sebagai kehidupan. Diiringi tabuhan gondang sabangunan, sembari menortor para penduduk kampung mengelilingi kerbau yang ditambatkan.
Dahulu, kerbau ditombak untuk memastikan kematiannya, tapi pada horja bius, tombak sang dukun tak langsung menghujam. Tusukan dilakukan hanya sekedar simbol, kerbau disembelih dengan pisau.
“Mangalahat horbo bius dilakukan untuk mengawali atau pembukaan sebelum orang Batak turun ke sawah. Ritual ini untuk kesuburan tanah, perkembangbiakan ternak dan kesejahteraan manusia,” kata Hartoba Tohris Sidabutar.
Mangalahat Horbo punya tiga tujuan berbeda yaitu sebagai upacara turun ke sawah, ucapan rasa syukur dan meminta keturunan dan upacara peringatan orangtua yang sudah meninggal dunia, serta upacara perayaan tertentu.
Setelah disembelih, daging kerbau dibagi-bagi kepada tuan rumah yang menggelar pesta serta kepada yang berhak menerima sesuai ketentuan adat. Bila sabar menunggu, para tamu pun bisa menikmati daging yang telah dimasak dan makan bersama warga kampung.
Di Pulau Samosir, ada dua perkampungan yang rutin menggelar horja bius yakni Desa Tuktuk dan Desa Simanindo.
(Al Muqtadir)
Komentar
Posting Komentar