Biografi: Marsillam Simanjuntak

dr. Marsillam Simanjuntak, S.H. (lahir 23 Februari 1943) adalah aktivis dan negarawan.

 Baca juga:

Ia pernah menjabat Jaksa Agung Republik Indonesia, periode Juli-Agustus 2001, jabatan akhirnya dalam pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid. Ia menggantikan Baharuddin Lopa yang tutup usia.

Masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Marsilam Simanjuntak mengikuti proses seleksi menjadi anggota Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Marsillam menempati urutan teratas berdasar penilaian panitia seleksi (pansel) yang independen. Namun, setelah hasil seleksi diserahkan ke DPR, Marsillam tak dipilih.

 Baca juga:

Pengabdian

Masa pemerintahan Presiden Soekarno, Marsillam Simanjuntak aktif dalam gerakan mahasiswa periode 1960-an yang menentang pemberlakuan Demokrasi Terpimpin.

Masa pemerintahan Presiden Soeharto, Marsillam Simanjuntak aktif di Forum Demokrasi yang dipimpin sahabatnya sejak kecil, Abdurrahman Wahid. Fordem digerakkan oleh banyak tokoh masyarakat yang bersikap sebagai oposisi di luar sistem politik otoritarian Orde Baru. Aktivis Fordem meliputi Arief Budiman, Bondan Gunawan, Y. B. Mangunwijaya, Todung Mulya Lubis, dan lain-lain.

Masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, Simanjuntak menjabat Sekretaris Kabinet, mulai Januari tahun 2000. Dalam pemerintahan yang sama, Simanjuntak diangkat menjadi Menteri Kehakiman Juni 2001. Ia menggantikan Baharuddin Lopa yang diangkat menjadi Jaksa Agung. Jabatan akhir Marsillam dalam pemerintahan Wahid adalah Jaksa Agung Republik Indonesia untuk periode Juli-Agustus 2001. Ia menggantikan Baharuddin Lopa yang tutup usia di Riyadh, Arab Saudi.

Masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Marsillam Simanjuntak dipilih menjadi kepala Unit Kerja Presiden Pengelolaan Program dan Reformasi (UKP3R). UKP3R dibentuk Oktober 2006, beranggotakan Agus Widjojo dan Edwin Gerungan. Marsillam menjadi Kepala UKP3R sejak 2006-2009. Periode kedua pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, UKP3R dikembangkan menjadi Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4, dipimpin Kuntoro Mangkusubroto).

Karier awalnya adalah dokter penerbangan di Maskapai Penerbangan Garuda. Masa kerjanya di Garuda sempat 'terpotong' 17 bulan. Pada tahun 1974 ia harus mendekam di rumah tahanan militer setelah dituduh terlibat dalam Peristiwa Malari. Penahanannya berakhir tanpa pernah diadili. Selepasnya dari tahanan (1975) ia diangkat sebagai Kepala Kesehatan. Marsillam Simanjuntak mendapat keputusan percepatan masa pensiun karena menolak menjadi anggota Korps Pegawai Negeri (Korpri) dan indoktrinasi P-4. Ia dipilih menjadi Komisaris Utama PT Garuda Indonesia dari tahun 2003 sampai 2005.

Pendidikan

Pendidikan awal Marsilam Simanjuntak ditempuh di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (lulus 1971). Setamat studi kedokteran, Marsillam menyerahkan ijazah kepada ibunya, "Mama, ini saya persembahkan ijazah dokter saya kepada Mama. Ambil dan simpan sebagai tanda bakti dan hormat saya kepada Mama.”

Marsillam menekuni studi hukum di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (lulus 1989). Pada usia 46 tahun, Marsillam Simanjuntak mempertahankan skripsi berjudul Unsur Hegelian dalam Pandangan Negara Integralistik. Skripsinya diterbitkan dalam bentuk buku berjudul Pandangan Negara Integralistik (Jakarta: Penerbit Graffiti, 1994) dan menjadi salah satu rujukan utama di bidang hukum tata negara.[1]

Marsillam menjadi pengajar di Fakultas Hukum Universitas Indonesia.

Buku

Buah pemikiran Marsilam Simanjuntak dituangkan dalam buku Pandangan Negara Integralistik (1994). Buku ini menelusuri kembali tempat dan kedudukan pandangan negara integralistik dalam proses penyusunan UUD 1945.

Pandangan Negara Integralistik menguliti sumber filsafat pandangan negara integralistik yang bertentangan dengan asas kedaulatan rakyat.

Meski menyoroti pengaruh filsafat G. W. F Hegel dalam pemikiran Soepomo saat pendirian Republik Indonesia, buku ini terlanjur menjadi menjadi bahan bacaan utama aktivis pro-demokrasi. Aktivis pergerakan menggunakan buku ini untuk memahami penyerapan pandangan totalitarian-integralistik, kekeluargaan dan kesatuan, yang diadopsi Presiden Soeharto dalam membangun Orde Baru.

Kuliah Umum

Marsilam Simanjuntak dikenal sangat jarang muncul di hadapan publik, kecuali sesekali memberi kuliah umum, atau ceramah publik.

Dalam peluncuran Jentera School of Law, Jakarta tahun 2011, Simanjuntak bercanda, menyebut tiga hal yang tidak perlu namun selalu digunakan manusia: kapitalisme, kepercayaan, dan powerpoint. Yang terakhir, diakuinya, adalah akibat ketidakmampuannya menggunakan MS PowerPoint dengan baik.

Dalam kuliah umum Sistem Politik Indonesia setelah Reformasi, 12 Agustus 2014, Serambi Salihara. Marsillam menyoroti posisi partai pendukung pemerintahan yang menjadi minoritas di parlemen dalam sistem politik Indonesia:

Sebenarnya, secara konstitusional tidak diatur mengenai cara pengambilan keputusan di DPR. Tidak dikatakan melalui pemungutan suara. Tidak dikatakan dengan suara terbanyak. Sistem suara terbanyak bukan menjadi keharusan di dalam konstitusi kita. Apa yang ada di dalam konstitusi kita? Dalam batang tubuh dalam pasal-pasal, tidak ada satu kata pun. Tetapi dalam pembukaan, itu tersirat dalam Pancasila. Pancasila mengatakan, mengacu kepada: 'kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan'. Apa artinya? Kerakyatan adalah demokrasi. Jadi, demokrasi menurut Pancasila, bukan demokrasi voting. Bukan demokrasi suara terbanyak. Tapi, permusyawaratan. Perwakilan. Demokrasi representatif, tetapi bermusyawarah. Dan mereka percaya ada hikmat kebijaksanaan di situ.

sumber: https://id.wikipedia.org/

Komentar