D.I Panjaitan lahir di Balige, Tapanuli, 19 Juni 1925. Pendidikan formal diawali dari Sekolah Dasar, kemudian masuk Sekolah Menengah Pertama, dan terakhir di Sekolah Menengah Atas. Ketika ia tamat Sekolah Menengah Atas, Indonesia sedang dalam pendudukan Jepang. Sehingga ketika masuk menjadi anggota militer ia harus mengikuti latihan Gyugun. Selesai latihan, ia ditugaskan sebagai anggota Gyugun di Pekanbaru, Riau hingga Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya.
Ketika Indonesia sudah meraih kemerdekaan, ia bersama para pemuda lainnya membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang kemudian menjadi TNI. Di TKR, ia pertama kali ditugaskan menjadi komandan batalyon, kemudian menjadi Komandan Pendidikan Divisi IX/Banteng di Bukittinggi pada tahun 1948. Seterusnya menjadi Kepala Staf Umum IV (Supplay) Komandemen Tentara Sumatera. Dan ketika Pasukan Belanda melakukan Agresi Militernya yang Ke II, ia diangkat menjadi Pimpinan Perbekalan Perjuangan Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI).
Baca juga:
Seiring dengan berakhirnya Agresi Militer Belanda II, Indonesia pun memperoleh pengakuan kedaulatan. Panjaitan sendiri kemudian diangkat menjadi Kepala Staf Operasi Tentara dan Teritorium (T&T) I Bukit Barisan di Medan. Selanjutnya dipindahkan lagi ke Palembang menjadi Kepala Staf T & T II/Sriwijaya.
Setelah mengikuti kursus Militer Atase (Milat) tahun 1956, ia ditugaskan sebagai Atase Militer RI di Bonn, Jerman Barat. Ketika masa tugasnya telah berakhir sebagai Atase Militer, ia pun pulang ke Indonesia. Namun tidak lama setelah itu yakni pada tahun 1962, perwira yang pernah menimba ilmu pada Associated Command and General Staff College, Amerika Serikat ini, ditunjuk menjadi Asisten IV Menteri/Panglima Angkatan Darat (Men/Pangad). Jabatan inilah terakhir yang diembannya saat peristiwa Gerakan 30 September terjadi.
Ketika menjabat Asisten IV Men/Pangad, ia membongkar rahasia pengiriman senjata dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) untuk PKI. Dari situ diketahui bahwa senjata-senjata tersebut dimasukkan ke dalam peti-peti bahan bangunan yang akan dipakai dalam pembangunan gedung Conefo (Conference of the New Emerging Forces). Senjata-senjata itu diperlukan PKI yang sedang giatnya mengadakan persiapan untuk mempersenjatai angkatan kelima.
Baca juga
Karier Militer:
D.I Pandjaitan memulai karier militernya saat ia mengikuti pendidikan Giyugun di Bukitinggi, Sumatra Barat dan lulus dengan pangkat Shoi (Letnan Dua), kemudian ia ditugaskan di Pekanbaru sampai indonesia memproklamirkan kemerdekaannya. Pasca proklamasi kemerdekaan, Pandjaitan bergabung dengan TKR (Tentara Keamanan Rakyat) yang nantinya menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) dan menjabat sebagai Komandan Batalyon I merangkap Kepala Latihan Resimen IV Divisi III / Banteng hingga panda puncaknya menjabat sebagai Asisten IV Menteri / Panglima Angkatan Darat.
1. Shodancho (Komandan Pleton) Giyugun di Pekanbaru (1944-1945).
2. Anggota BKR di Riau (1945).
3. Komandan Batalyon I merangkap Kepala Latihan TKR Resimen IV Divisi IX / Banteng (1945-1947).
4. Kepala Staf Resimen IV Riau Utara Divisi IX / Banteng (1947-1948).
5. Kepala Bagian IV / Supply Komando Tentara Teritorium Sumatra merangkap Kepala Pusat Perbekalan PDRI (1948-1949).
6. Kepala Bagian II / Operasi Komando Tentara Teritorium Sumatra Utara kemudian menjadi KO TT I / Bukit Barisan (1949-1952).
7. Kepala Bagian III / Organisasi KO TT I / Bukit Barisan (1950-1952).
8. Wakil Kepala Staf merangkap Pelaksana Kepala Staf TT II / Sriwijaya (1952-1956).
9. Mendapat tugas mengikuti pendidikan di Kursus Militer Atase Gelombang I dan Senior Officer Courses of the Infantry School, India (1956).
10. Asisten Atase Militer di Bonn, Jerman Barat (1956-1960).
11. Atase Militer di Bonn, Jerman Barat (1960-1962).
12. Asisten IV/Logistik Menteri Panglima Angkatan Darat (1962-1965).
13. Perwira Siswa di Associate Courses pada U.S Army General and Command Staff College (1963-1964).
14. Gugur dalam Peristiwa G30S/PKI dan kemudian dianugerahi kenaikan pangkat menjadi Mayor Jenderal TNI Anumerta (1965).
Kepangkatan:
1. Mayor (30 Oktober 1945- 30 Oktober 1948).
2. Kapten (30 Oktober 1948-1 Oktober 1952), Pangkat diturunkan karena adanya Kebijakan Re-Ra (Reorganisasi dan Rasionalisasi) TNI.
3. Mayor (1 Oktober 1952-1 Juni 1956).
4. Letnan Kolonel (1 Juni 1956-1 Juli 1960).
5. Kolonel (1 Juli 1960-1 Juli 1963)
6. Brigadir Jenderal TNI (1 Juli 1963-5 Oktober 1965).
7. Tewas dalam peristiwa G30S / PKI (30 September / 1 Oktober 1965).
8. Mayor Jenderal TNI Anumerta (5 Oktober 1965).
Kematian:
Pada tengah malam tanggal 1 Oktober 1965, sekelompok anggota Gerakan 30 September memaksa masuk dan melancarkan tembakan ke rumah Panjaitan di Jalan Hasanuddin, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Panjaitan ditembak di kepala ketika ia sedang berdoa.[2] Jasadnya dibawa menggunakan truk menuju Lubang Buaya dan baru ditemukan pada tanggal 4 Oktober. Sehari kemudian, Panjaitan mendapat promosi anumerta sebagai Mayor Jenderal dan diberi gelar Pahlawan Revolusi.
Rumah Kediaman:
Rumah Kediaman D. I. Panjaitan merupakan salah satu bangunan cagar budaya Indonesia. Dalam pembagian administratif Indonesia, Rumah Kediaman D.I. Panjaitan berada di Kota Adminstrasi Jakarta Selatan, Provinsi Dareah Khusus Ibukota Jakarta. Penetapannya sebagai cagar budaya berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor PM.13/PW.007/MKP/05. Surat keputusan ini diterbitkan pada tanggal 25 April 2005. Alamatnya secara lengkap di Jalan Hasanuddin Nomor 53 kawasan Blok M, Kebayoran Baru. Pembangunan rumah ini sekitar tahun 1956 bersamaan dengan masa pengembangan kota satelit Kebayoran di Jakarta Selatan. Jumlah lantai bangunan ada dua. Nilai sejarah yang dimiliki oleh rumah ini adalah upaya penculikan D.I. Panjaitan pada dini hari tanggal 1 Oktober 1965. Saat itu, Panjaitan menjabat sebagai Asisten IV Menteri atau Panglima Angkatan Darat bidang logistik. Rumah kediaman ini juga menjadi salah satu bagian dari sejarah pemberontakan Gerakan 30 September. Peristiwa lain yang pernah terjadi di rumah kediaman ini adalah kematian D. I. Panjaitan akibat tertembak. Rumah Kediaman D. I. Panjaitan pernah digunakan untuk pembuatan film pada tahun 1980-an. Judul film tersebut adalah Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI. Film ini dikerjakan oleh sutradara bernama Arifin C. Noer. Noer menggunakan rumah ini untuk membuat adegan penculikan D. I. Panjaitan.
sumber: id.wikipedia.org
Komentar
Posting Komentar