SIPARDALAN NEWS: 'Raumanen' konflik pasangan beda suku (Batak Dan Manado)



Horas dongansss


Buat para dongan pecinta novel, pernahkah membaca dan mengetahui Novel Raumanen karya Marianne Katoppo ini pada tahun 1975 ini??? saat itu memperoleh hadiah harapan Sayembara Penulisan Novel yang diselenggarakan Dewan Kesenian Jakarta. Naskahnya kemudian dimuat dalam majalah Femina sebagai cerita bersambung. Setelah terbit sebagai buku tahun 1977, novel ini meraih hadiah dari Yayasan Buku Utama, Depdikbud tahun 1977. Kemudian, pada tahun 1982, Raumanen dinyatakan sebagai pemenang Hadiah Sastra Asia Tenggara.

Saat saya membacanya, saya tertarik dengan isi ceritanya, apalagi dalam kisah asmara ini terdapat dua pasangan yang berbeda suku, prianya berasal dari suku batak dan wanitanya berasal dari Manado. Nah bagi yang belum mengetahui ceritanya, untuk artikel kali ini saya akan membagikan sinopsisnya, semoga dengan sinopsis yang saya bagikan ini bisa disukai dongans.

Sinopsis Raumanen

Cerita Novel Online - Raumanen
Raumanen, yang biasa dipanggil Manen, adalah seorang gadis Manado berumur 18 tahun. Ia aktif dalam kegiatan organisasi di Jakarta. Berbagi acara atau kegiatan yang diselenggarakan organisasinya diikuti Manen. Pada suatu acara ia berkenalan dengan insinyur muda bernama Monang.


Perkenalan antara Manen dan Monang berlanjut terus. Keduanya tidak sekadar sering berjumpa, tetapi kerap dilanjutkan dengan berjalan bersama-sama. Lambat-laun hubungan mereka makin rapat. Manen menyadari bahwa hubungannya dengan insinyur muda itu hanya sebatas hubungan sesama teman. Bahkan ia merasa lebih tepat sebagai seorang “adik” kecil bagi Monang. Jadi, Manen tidak perlu risau pada nasihat teman-temannya yang mengatakan bahwa Monang “si perebut hati wanita” sedang mencari korban berikutnya. Dengan perasaan bahwa dirinya diperlakukan hanya sebagai seorang “adik” dan dalam pandangannya Monang lebih bertingkah laku sebagai seorang kakak terhadapnya, Manen tetap melanjutkan hubungannya dengan Monang.



Perkembangan berikutnya menunjukkan bahwa hubungan mereka meningkat lebih mesra. Kembali, teman-temannya Manen merasa perlu mengingatkannya akan tabiat Monang agar ia menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu. Di samping itu, ibunya –juga teman-temannya- memperingatkan Manen tentang adat yang mengikat anak laki-laki dari keluarga Batak. Semua peringatan itu ternyata tak membuat Manen memutuskan hubungannya dengan Monang. Sebaliknya, hubungan keduanya makin mesra.

Baca juga:

SIPARDALAN NEWS: Arti ‘Cicak’ dalam simbol Bangso Batak

SIPARDALAN NEWS: 7 Kabupaten yang mendiami Danau Toba

Bagi Manen, rupanya hubungan itu telah menyadarkan dirinya bahwa inilah untuk pertama kalinya ia merasakan jatuh cinta. Ya, itulah cinta pertamanya. Sebaliknya bagi Monang, Manen termasuk salah satu gadis dari sekian gadis yang ditaklukkannya. Sebenarnya, dapat saja Monang menjadikan Manen sebagai korban yang kesekian dan kemudian meninggalkannya. Namun, keluguan gadis Manado itu telah membuat insinyur muda itu amat menyayanginya; suatu perasaan yang sebelumnya tak pernah terjadi dalam petualangan cinta Monang. Bahkan Monang merasakan baru Manenlah yang mengerti perasaannya. Inilah salah satu alasan yang membuat pemuda itu tak ingin meninggalkan Manen.

Kemesraan kedua insan itu pada akhirnya sampai jua pada titik yang melampaui batas larangan. Sebuah bungalow di Cibogo merupakan saksi perbuatan mereka. Apa yang terjadi di tempat itu adalah suatu mimpi buruk bagi Manen seumur hidup tak dapat dilupakannya.

Baca juga:

Monang berjanji akan bertanggung jawab atas kejadian itu. Ia akan mengawini Manen. “Kalau cuma itu sebabnya hingga kau mau kawin denganku … kurasa lebih baik kaulupakan saja,” kata Manen (hlm. 48). Gadis itu tak mau kawin dengan lelaki yang menikahinya hanya karena terpaksa. Perkawinan harus dilandasi cinta, tegas Manen.

Akan tetapi, Monang rupanya memilih cara lain mengungkapkan cintanya. Tak pernah sekali pun kata cinta keluar dari mulut lelaki itu; padahal, ucapan itu sangat dibutuhkan oleh kekasihnya, Manen. Hal itu juga yang membuat Manen merasa ragu akan niat kekasihnya untuk mengawininya, walaupun pemuda itu sudah berusaha memperkenalkan kekasihnya kepada keluarganya dan mempersiapan rumah yang akan mereka tinggali kelak. Manen masih ragu. Ia terlalu lugu hingga belum dapat menerjemahkan sikap Monang sebagai ungkapan pernyataan cintanya. Ia masih menunggu kekasihnya mengucapkan kata cinta. Namun, Monang tidak pernah mengungkapkan kata itu.

Sementara itu, perbuatan yang mestinya tidak mereka lakukan lagi –karena keduanya belum sah sebagai suami-istri- terulang kembali dan terus terulang kembali. Sampai akhirnya, Manen hamil.

Di lain pihak, Monang berusaha membujuk keluarganya untuk menerima Manen sebagai bagian dari keluarganya, tidak berhasil. Mengingat Monang lahir sebagai anak sulung dalam keluarganya, keputusan keluarga berdasarkan adat Batak adalah: Monang harus kawin dengan gadis sesuku. Inilah keputusan keluarga yang tak dapat diganggu-gugat dan harus dipatuhi.

Berbeda dengan sikap keluarga Monang yang masih kukuh mempertahankan tradisi adat leluhurnya, orang tua Manen “begitu luas pandangannya, begitu lapang hatinya. Bagi mereka Indonesia itu bukan cuma istilah kosong saja, yang dapat sewaktu-waktu didesak oleh kesetiaan yang berlebih-lebihan pada peninggalan leluhur Minahasa” (hlm. 21).

Ketika Manen menyampaikan kabar tentang kehamilannya, Monang begitu gembira membayangkan anak, darah dagingnya sendiri. Sebaliknya, Manen sendiri malah merasa takut. Kondisi fisiknya tak mengizinkan punya anak. “Ia akan menjadi buta atau gila apabila melahirkan anak” (hlm. 73).

Hasil diagnose seorang dokter, yang juga kawan Manen, menyatakan bahwa anak yang dikandungnya akan lahir cacat. Penyebabnya adalah penyakit syphilis yang diidap Monang. Dokter kemudian menyarankan agar anak yang dikandungnya digugurkan. Tentu saja Manen menolaknya. Ia tak mau membunuh anaknya sendiri. Ia rela menderita, sungguhpun itu disebabkan oleh kehidupan Monang yang tak bersih.



Suatu saat Manen mengurung diri di kamarnya. Ia teringat kisah kasihnya dengan Monang; teringat kebahagiaan dan kesedihannya bersama kekasih pertama sekaligus terakhirnya. Manen tak mampu menutupi rasa salahnya yang dalam. Inilah hasil perbuatannya melanggar ketentuan Tuhan dan “… Aku terbuang selama-lamanya dari Tuhan dan Manusia” (hlm. 92). Manen tak kuasa menerima kenyataan itu. Lalu, ia memilih jalannya sendiri, menghukum dirinya sendiri. Ia lari dari kenyataan hidup. Ia bunuh diri!

gimana dongans?? menarik kan ceritanya? semoga novel ini bisa diangkat kembali dan bisa dibuat filmnya dan tidak ketinggalan Soundtracknya dibuat sama tulang Viky Sianipar, hehe
Mauliate

MS
Sumber Tulisan Dari: http://www.ilmubahasa.net/2015/01/cerita-novel-online-raumanen.html#ixzz4Lc9mISYy

Komentar

  1. Bursik mai, anak ni raja do boasa diceritahon gabe raja singa :-) molo adong pe margelar singa, sisingamangaraja do, unang dibalik"
    :-)

    BalasHapus

Posting Komentar